Minggu, 18 Maret 2012

ADAT PERNIKAHAN BAYAN




Suku Sasak adalah suku bangsa yang mendiami pulau Lombok dan menggunakan bahasa Sasak. Sebagian besar suku Sasak beragama Islam, uniknya pada sebagian kecil masyarakat suku Sasak, terdapat praktik Budaya Sasak yang agak berbeda dengan Islam pada umumnya yakni Islam Wetu Telu, namun hanya  oranng-orang tertentu yang melakukan praktek ibadah seperti itu. Daerah sasak ini dari zaman dahulu sampai sekarang masih di laksanakan karena budaya adatnya sudah ada sejak nenek moyang pada zaman dahulu. Orang Lombok pada jaman dulu berjalan dari daerah bagian barat Lombok (lurus) sampai kearah timur terus menuju sebuah pelabuhan di ujung timur pulau yang sekarang bernama Pelabuhan Lombok. Orang Lombok juga biasanya suka kerajinan tangan salah satunya membuat tikar pandan.
Mereka banyak menikah dengan penduduk asli hingga memiliki anak keturunan yang menjadi raja sebuah kerajaan yang didirikan yang bernama  Kerajaan Lombok yang berpusat di Pelabuhan Lombok. Setelah beranak pinak, sebagai tanda kisah perjalanan dari Jawa memakai sampan (sak-sak), mereka menamai keturunannya menjadi sak-sak, yang lama-kelamaan menjadi Sasak.
Adat istiadat suku sasak dapat anda saksikan pada saat resepsi perkawinan, dimana perempuan apabila mereka mau dinikahkan oleh seorang lelaki maka yang perempuan harus dilarikan dulu kerumah keluarganya dari pihak laki-laki, ini yang dikenal dengan sebutan merarik atau memulang. Sehari setelah dilarikan maka akan diutus salah seorang untuk memberitahukan kepada pihak keluarga perempuan bahwa anaknya akan dinikahkan oleh seseorang, ini yang disebut dengan mesejati atau semacam pemberitahuan kepada keluarga perempuan. Setalah selesai makan akan diadakan yang disebut dengan nyelabar atau kesepakatan mengenai biaya resepsi perkawinan atau yang di namakan Sorong Serah.
semoga terinspirasi 
















PROSES ACARA MAULID ADAT BAYAN


Tradisi Maulid Nabi ala adat Bayan ini berjalan selama dua hari. Hari pertama adalah persiapan bahan makanan dan piranti upacara lainnya  yang disebut “kayu aiq”, sementara hari kedua adalah do’a dan makan bersama yang dipusatkan di masjid kuno Bayan. Para pelaksana prosesi ‘Mulud Adat Bayan”  terdiri dari warga Desa Loloan, Desa Anyar,Desa  Sukadana,Desa Senaru,Desa Karang Bajo dan Desa Bayan,yang semua Desa tersebut merupakan kesatuan wilayah Adat yang disebut Komunitas Masyarakat Adat Bayan.
Perhitungan berdasarkan ‘Sereat’ (Syari’at) Adat Gama di Bayan  “Mulud Adat Bayan” dilaksanakan pada dua hari setelah ketepan Kalender Islam  Maulid Nabi tgl.12 Rabi’ul Awal tepatnya dimulai pada tanggal 14-15 Rabi’ul Awal yang tahun 2011 ini jatuh pada tanggal 18-19 Februari, Komunitas Masyarakat Adat  Sasak Karang Bajo, Kecamatan  Bayan, Lombok Utara, sejumlah masyarakat adat bersiap-siap melakukan rangkaian acara perayaan Maulid Nabi yang digelar secara adat,masyarakat adat setempat biasa menyebutnya  dengan “Mulud Adat”,
Sejak pagi hari Masyarakat Adat Bayan berbondong-bondong menuju "Kampu" yaitu desa asli atau area yang pertama didiami oleh suku sasak Islam Bayan, mereka menyerahkan sebagian sumber penghasilannyadari hasil bumi  seperti, padi,beras,ketan, kelapa,sayur-sayuran, buah-buahan,dan hewan ternak beserta “batun dupa” (uang) dan menyatakan nadzarnya kepada “Inan Menik” yaitu seorang perempuan yang menerima hasil bumi dari para warga nantinya hasil bumi tersebut akan diolah menjadi hidangan (sajian) untuk dihaturkan kepada ulama dan tokoh adat sasak Bayan dikeesokan hari  pada hari ke dua Mulud Adat, hal ini adalah bentuk rasa syukur warga atas penghasilannya, kemudian “Inan Menik” memberikan tanda di dahi warga adat dengan “mamaq” dari sirih sebagai ritual penandaan anak adat yang disebut “Menyembeq” .
Selanjutnya Masyarakat  Adat Bayan bahu membahu  membersihkan tempat  yang disebut  BALEN UNGGUN (tempat sekam/dedak),BALEN TEMPAN  (Tempat alat-alat penumbuk padi),membersihkan Rantok (tempat menumbuk padi), membersihkan tempat Gendang gerantung, selanjutnya  sebagian dari kelompok masyarakat Adat menjemput gamelan  Gendang Gerantung ,setibanya Gendang Gerantung  di tempat yang sudah disediakan dilakukan acara ritual selamatan penyambutan dan serah terima dengan ngaturan Lekes Buaq (sirih dan pinang),kemudian acara ritual “Taikan Mulud” (Rangkaian Mulud Adat dimulai),
Perkiraan waktu ‘gugur kembang waru’ (sekitar jam 15.30 waktu setempat) Para wanita  memulai “Menutu Pare” (menumbuk padi) bersama-sama secara  berirama dengan menggunakan Tempan terbuat dari bambu panjang ditempat menumbuk padi yang berbentuk seperti lesung perahu yang  disebut “Menutu” (menumbuk).  Di saat yang bersamaan diiringi dengan gamelan  Gendang Gerantung khas Desa Bayan , sebagian kaum laki-laki mencari bambu tutul untuk dijadikan sebagai umbul-umbul yang akan  dipajang pada setiap pojok masjid kuno Bayan acara ini disebut “Tunggul” yang dipimpin oleh seorang pemangku yang disebut “Melokaq Penguban”  setelah mendapat restu  dengan pemberian lekoq buaq (sirih dan pinang)  oleh “Inan Menik” ,lekoq buaq inilah yang dijadikan sebagai media bertabiq kepada pohon bamboo yang akan ditebang.
Malam harinya bertepatan dengan bulan purnama  dimana tunggul (umbul-umbul) sudah terpasang pada setiap pojok masjid Kuno,para pemimpin Adat dan Agama mulai  “Ngengelat”  yaitu mendandani dalam ruangan Masjid Kuno dengan symbol-simbol sarat makna,dan setelah itu disaat para pemain gamelan sudah memasuki  halaman Masjid Kuno  Bayan pertanda acara bertarungnya dua orang warga pria dengan menggunakan rotan (Temetian) sebagai alat pemukul dan perisai sebagai pelindungnya yang terbuat dari kulit sapi, akan segera dimulai, permainan yang biasa disebut “Presean” ini biasa dilakukan oleh para “Pepadu” atau orang yang dihandalkan dalam permainan ini, namun pada acara Mulud Adat ini siapa saja yang ingin dipersilahkan, atau warga yang bernadzar bahwa ketika Mulud Adat dia akan bertarung.  Permainan yang dihelat tepat didepan Masjid Kuno Bayan ini, tidak didasari rasa dendam dan merasa jagoan namun bagian dari ritual dan  hiburan dan apabila salah satu pemain terluka, atau mengundurkan diri keduanya harus meminta maaf dengan bersalaman seusai permainan. Ini merupakan tradisi ritual dan  hiburan Mulud Adat yang dilakukan sejak berabad-abad lamanya.
Seusai acara “Temetian” atau “Presean” para pemimpin Adat,pemimpin Agama besrta tokoh-tokoh masyarakat lainnya dan terbuka bagi siapapun  yang ingin ikut serta pada berkumpul di “Berugaq Agung” untuk saling bercerita lepas dan berdiskusi serta berwacana tentang segala hal.
Pada hari kedua 15 Rabi’ul awal (tgl.18 Februari 2011) warga perempuan adat memulai kegiatannya dengan “menampiq beras” yaitu membersihkan beras yang telah di “Tutu” atau di “Rantok” yang dilanjutkan dengan acara “Misoq Beras” (mencuci beras) dengan iring-iringan panjang para perumpuan adat dengan rapi berbaris dengan bakul beras dikepala menuju sebuah mata air Lokoq Masan Segah namanya yang memang dikhusukan untuk mencuci beras dikala ritual dilaksanakan,jarak mata air ini sekitar 400 meter dari ‘Kampu”. Prasayarat para pencuci beras ini adalah perempuan dalam keadaan suci (tidak dalam masa haid),sepanjang jalan berpantang untuk berbicara,tidak boleh menoleh dan memotong jalan barisan.  Setelah beras dicuci lalu dimasak menjadi nasi tibalah saatnya untuk “Mengageq”  yaitu menata hidangan diatas sebuah tempat yang dibuat dan dirancang sedemikian rupa yang disebut “Ancaq”
Pada sore harinya, “Praja Mulud” atau para pemuda Adat yang telah didandani menyerupai dua pasang pengantin  diring bersama-sama  dari rumah “Pembekel Beleq Bat Orong” (Pemangku adat dari Bayan Barat) menuju Masjid Kuno dengan membawa sajian  yang berupa hidangan seperti nasi dan lauk pauknya . “Praja Mulud” ini mengambarkan proses terajdinya perkawinan langit dan bumi, Adam dan Hawa, yang disimbolkan dengan pasangan penganten yang  dilakukan oleh pranata-pranata adat Bayan.
Setibanya di masjid lalu salah seorang pemuka agama memimpin do’a. Seusai do’a acara dilanjutkan dengan makan bersama yang dikuti para jama’ah atau warga adat  yang datang kemudian untuk menyantap hidangan yang telah disediakan.ini merupakan wujud rasa syukur warga adat sasak  Bayan kepada para ulama sekaligus menjadi puncak acara perayaan kelahiran Nabi Muhammad S.A.W yang dirayakan secara adat  Bayan.
Bayan dan “Pemaliq Leket”
Bayan yang terletak di Kabupaten Lombok Utara merupakan daerah awal masuknya Islam di Pulau Lombok, yang dibawa oleh para Wali Songo terbukti dari adanya Masjid Kuno Bayan sebagai masjid pertama dan menjadi pusat penyebaran agama Islam pada abad ke 16  di Pulau Lombok, kemudian terjadilah penggabungan antara adat sasak dan agama Islam. Di areal masjid yang bentuk bangunannya masih sangat tradisional ini dikelilingi oleh beberapa maqam para leluhur penyebar agama Islam di Pulau Lombok seprti  maqam Gauz  Abdul Razak yang disebut makam Reaq terletak di barat daya masjid,maqam Titik Mas Pelawangan di bagian selatan masjid,maqam Titik Mas Penghulu dibagian timur laut masjid berderet kearah barat maqam Sesait,maqam Karang Salah dan Makam Desa Anyar.
Konstruksi atap masjid kuno Bayan mencerminkan tingginya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat adat Bayan. Atap bangunan dengan kemiringan yang sangat tajam tampaknya mempercepat jatuhnya air hujan ke tanah.
Menapaki pintu masjid ini para pemeluk menunjukkan penghormatannya pada sang Khaliq dengan berjalan menunduk. Memang pintu masjid itu nyaris tidak tampak karena atapnya yang menjurai kebawah sekitar satu meter dari permukaan tanah. Ini membuat orang yang masuk mau tak mau harus menundukkan kepala. Sikap menunduk ditambah larangan-larangan tadi, adalah symbol penghormatan dan pengabdian pada Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa betapa kecilnya manusia di hadapan Sang Khaliq, dan shalat itu juga sebenarnya cara menghambakan diri pada Sang Pencipta. Atas kehendaknya manusia itu ada, dan kepada-Nya pula manusia akan kembali.
“Pemaliq Leket” adalah sesuatu yang tabu untuk dilakukan,apabila dilanggar maka akan berdampak kepada kemalangan bagi pelanggarnya dalam bahasa Sasak pada umumnya juga disebut “Tulah Manuh” atau Kualat.  Ketaatan masyarakat adat Bayan terhadap adat dan agama itu terlihat pula saat mengunjungi tempat tinggal para pimpinannya. Misalnya untuk memasuki kampu yang dihuni tokoh agama (Maq Lebe dan Inaq Lebe) dan tokoh Adat (Maq Lokaq dan Inaq Lokaq) siapapun dia harus menngenakan pakaian adat Sasak Bayan seperti sarung,ikat kepala (sapuq) dan tanpa baju bagi para pria, serta semacam kemban (jawa) untuk wanita. Selain itu komunitas adat Bayan juga dilarang memakai pakaian dalam dan perhiasan. Aturan yang sama berlaku juga bila orang memasuki masjid kuno.
Demikianlah prosesi mulud Nabi ala adat Bayan, yang bagi peneliti kelebihan Bayan mungkin menjadi inspirasi dan media keilmuan yang tiada berkesudahan. Bagi para tamu pengunjung,dari Bayan mereka akan memperoleh suguhan unik dan sarat makna yang dimanapun dan kapanpun tidak dapat dijumpai di luar Pulau Lombok .

MASJID KUNO BAYAN BELEK


Kabupaten Lombok Utara yang dimekarkan tiga tahun lalu, ternyata bukan saja kaya dari sisi budaya dan pariwisata, namun juga memiliki situs sejarah yang masih berdiri tegak hingga sekarang. Situs yang dimaksud adalah Masjid Kuno Bayan Beleq, Desa Bayan Kecamatan Bayan, sebagai saksi bisu masuknya agama Islam di Pulau Lombok.
Masjid yang berdiri disebuah bukit dan dikelilingi beberapa cungkup makam para penyebar agama Islam ini,  diperkirakan dibangun ratusan tahun lalu, oleh seorang muballigh. Namun hingga saat ini belum ditemukan sumber tertulis siapa pendirinya dan pada tahun berapa didirikan. Yang jelas usia masjid yang kini dijadikan sebagai ikon pariwisata budaya ini sudah cukup tua.
Masjid kuno Bayan Beleq berukuran 9 X 9 meter persegi, dengan dinding rendah dari anyaman bambu. Sementara atapnya berbentuk tumpang yang tersusun rapi  dari bilah bambu atau dikenal dengan bahasa Dayan Gunung atap santek dengan lantai tanah yang dasarnya dari susunan batu kali.
Masjid kuno ini selain sebagai ikon wisata, juga  diabadikan dalam lambang daerah kabupaten Lombok Utara. Masjid Kuno Bayan Beleq digambarkan dalam bentuk siluet bewarna merah sebagai integritas peradaban masyarakat Lombok Utara. Disebutkan, bangunan Masjid Kuno Bayan menggambarkan tonggak peradaban masyarakat Lombok Utara yang dibangun berdasarkan kesadaran kosmos, kesadaran sejarah, kesadaran adat dan kesadaran spiritual.
Masjid Kuno Bayan, merupakan salah satu warisan budaya yang harus dipelihara sebagai situs cagar budaya yang berkontribusi dalam National Heritages. Warna merah pada stilisasi bangunan masjid kuno Bayan menunjukkan keberanian untuk menegakkan jati diri sebagai masyarakat budaya yang dibangun berdasarkan religiusitas yang kuat.
Konstruksi Masjid Kuno Bayan memiliki filosofis tersendiri, yang  terdiri dari kepala, badan dan kaki, menggambarkan dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah yang merupakan satu kesatuan dalam entitas kosmos masyarakat Lombok Utara.
Bila dilihat dari jarak dekat, masjid kuno Bayan Beleq tak ubahnya rumah-rumah di desa Bayan, yang bentuk bangunannya  serupa dengan bentuk bangunan rumah-rumah tradisional asli masyarakat Bayan. Saat pertama kali melihatnya, Anda mungkin tidak akan mengira bahwa bangunannya merupakan sebuah masjid.
Di dalam masjid juga terdapat sebuah bedug dari kayu yang digantung di tiang atap masjid serta makam beleq (makam besar) dari salah seorang penyebar agama Islam pertama di kawasan ini, yaitu Gaus Abdul Rozak. Di belakang kanan dan depan kiri masjid terdapat dua gubuk kecil yang di dalamnya terdapat makam tokoh-tokoh agama yang turut membangun dan mengurus masjid ini sejak dari awal.
Denah masjid berbentuk bujur sangkar, panjang sisinya 8,90 m.  Di topang 4 Soko Guru (tiang utama) yang dibuat dari kayu nangka, berbentuk bulat (silinder) dengan garis tengah 23 cm, tinggi 4,60 m. Keempat tiang tersebut berasal dari empat desa (dusun) yaitu : Tiang sebelah Tenggara, dari desa Bilok Petung Lombok Timur. Tiang sebelah Timur laut, dari desa Terengan. Tiang sebelah Barat laut, dari desa Senaru, Tiang sebelah Barat Daya, dari Dusun Semokon Desa Sukadana.
Pakaian yang dikenakan para kiyai dan imam Masjid Kuno Bayan juga memiliki arti tersendiri, karena yang boleh masuk adalah keturunan dari para penghulu atau kyai yang menyebarkan agama Islam terdahulu. Satu contoh warna putih yang digunakanpara kiyai  melambangkan arti kesucian, sedangkan kain panjang (dodot) berwarna merah memberi arti jiwa kepemimpinan, dilengkapi dengan sapuq atau bongot (ikat kepala) yang juga sudah menjadi tradisi tersendiri.
Tidak diperkenankan menggunakan celana dalam bentuk apapun. Untuk kaum perempuan cukup menggunakan kemben, yakni kain yang hanya sebatas dada. Hal tersebut dilakukan karena dikhawatirkan pakaian yang biasanya digunakan, telah terkotori oleh berbagai macam jenis kotoran (najis).
Masjid Kuno Bayan dikelilingi oleh makam para kyai yang membawa Islam pada zaman dahulu. Selain itu, juga terdapat beberapa cungkup makam. Tercatat beberapa nama di makam tersebut, antara lain: Pawelangan, Titi Mas Puluh, Sesait dan Karem Saleh. Mereka adalah tokoh-tokoh yang menyebarkan Islam di Lombok. Makam tersebut dibuat seperti rumah dari bedek (dinding dari bambu).
Salah satu makam yang diperlakukan beda adalah makam Sesait. Konon, makam ini tidak pernah diperhatikan ahli keluarganya hingga timbul mitos yang terjadi yaitu bencana kematian akan datang bagi anak cucu keturunan Sesait. Namun, mitos ini sepertinya tidak terbukti, karena sampai sekarang keturunan Sesait masih bisa kita temukan di Desa Bayan.
Di sekitar Masjid juga bisa kita temukan Makam Reak, yakni makam Syekh Abdul Razak yang menyiarkan agama Islam secara luas sampai ke belahan negara yang lain pada abad ke 16/17 M. Namun, di setiap daerah dakwahnya Syekh Gauz Abdul Razak selalu berganti nama, oleh karena itu beliau tidak terlalu dikenal.
Bagi anda yang mau berkunjung ke masjid kuno Bayan Belek, tak terlalu sulit, karena sarana transfortasi baik dari ibu kota provinsi NTB (Mataram) maupun dari timur Labuhan Lombok cukup lancar. Memang masjid ini dari tepi jalan lingkar Pulau Lombok tak begitu  tampak , yang kelihatan hanya pagar tembok dengan dua rumah kecil di kedua sisi gerbang yaitu kantor tempat pendaftaran pengunjung dan rumah penjaga situs. Sementara di sebelahnya terdapat sebuah berugak tempat beristirahat bagi para pengunjung. Bangunan masjid ini baru kelihatan setelah memasuki pagar beberapa belas meter di tengah rindangnya pepohonan seperti  sebuah gubuk di puncak bukit kecil.  Selamat berkunjung (*)

ADAT BAYAN ASLI

Agama adalah pemberian dari tuhan sedangkan adat adalah peninggalan dari orang tua atau nenek moyang yang keduanya harus dijaga dan diseimbangkan. Memang sebagian kalangan masih menilai pelaksanaan ajaran Wetu Telu kental dan identik dengan pelaksanaan ibadah sholat yang dilakukan 3 waktu dan puasa yang dikerjkan hanya pada awal, tengah dan akhir bulan saja, namun yang pasti agama dan adat yang sudah tentu memiliki kaitan erat dalam semua sendi kehidupan manusia memang tidak dapat dipisahkan, terlebih dalam komunitas adat Bayan yang selama ini tidak pernah ada larangan pada semua generasi dan penerus untuk menuntut ilmu dan menyempurnakannya, asalkan adat – istiadat tidak dikesampingkan agar tetap ber imbang dan seimbang.

Para Kiyai melakukan sholat di masjid kuno Bayan
Sumber lain yang berhasil ditemui adalah Raden Jambianom, Penghulu Raden Adat Bayan, ia menjelaskan, “ Sebelum menyandang status Kyai Adat maka tidak diperbolehkan mengikuti sembahyang tarawih kyai adat dimasjid Kuno Bayan. Dalam pelaksanaan sembahyang tarawih Kyai Adat ini ayat-ayat Al-Qur’an yang biasa dipaki harus dibacakan secara berurutan, sedangkan filosofi pelaksanaan sembahyang tarawih kyai adat setelah tiga hari sembahyang tarawih secara umum karena berpatokan pada tanggal dan posisi bulan, dimana menurut filosofi ini diyakni sahnya sesuatu itu dikerjakan apa bila dapat dilihat secara langsung oleh mata. Sedangkan pada tanggal 1 dan 2 posisi bulan belum dapat terlihat dan kemudian baru dapat terlihat pada tanggal 3. Pelaksanaan ritual adat juga selalu berpatokan pada hari ketiga setelah ritual umum lainnya, karena masyarakat adat selalu berpegang teguh pada sistem penaggalan.
Sedangkan Kyai Kagungan yang melipuiti 4 unsur (Penghulu, Lebe, Ketib, dan Mudim) pada dasarnya memiliki tugas pokok yang sama, yaitu sebagai imam, sedangkan tugas lainnya juga masih memilki tahapan dan bagian sesuai dengan wilyah adat yang dimilki, hanya saja Penghulu dapat berperan disemua wilayah adat, sedangkan Kyai Santri yang berjumlah 40 orang hanya bertugas sebagai makmum atau disebut juga sebagai pembantu yang bertugas mengurus semua ritual adat atas perintah dan mandat dari Kyai Kagungan. Yang boleh berperan sebagai Kyai Kagungan dan Kyai Santri ini harus berdasarkan keturunan.

“Terkiat makna Watu Telu memang tidak terlepas dari filosofi masyarakat adat Bayan yang selalu berpegang teguh pada tiga unsur atau keyakinan, yakni hubungan Tuhan dengan Manusia yang melibatkan para Kyai, Hubungan Manusia dengan Manusia yang melibatkan Pranta- pranata dan sesepuh adat, dan yang terakhir adalah Hubungan Manusia dengan Lingkungan yang diperankan oleh para Toaq Lokaq (para orang tua). Ketiga unsur ini memerlukan dan harus diseimbangkan, karena bagaimana pun juga kalau salah satunya tidak nyambung atau seimbang maka tidak mungkin dapat berjalan dengan baik.
Saat ini keberadaan komunitas adat beserta hak-hak yang dimilkinya juga semakin kuat dengan UUD 45 yang sudah diamandemenkan dan terutang dalam pasal 18 ayat b bahwa Negara mengakui hak ulayat dan ritual masyarakat adat . Jadi posisi dan keberadaan komunitas adat dan kerarifan lokal yang dimilkinya juga semakin kuat untuk mendapat perlindungan dan harus tetap dilestarikan.etu Telu Bukan Agama

Kepercayaan dan pendapat yang menyebar pada sebagian besar dikalangan luar meyakini bahwa Wetu Telu itu adalah ajaran agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat atau komunitas adat Bayan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara.

“Wetu Telu juga menggambarkan filosofi tentang “ Wet Tau Telu (tiga bagian wilayah atau sistim Pemerintahan-red) diantaranya, Adat, Agama dan Pemerintah, ketiga unsur ini jika dilihat berdasarkan fungsinya tidak mungkin dapat terpisahkan dimana tugas dan fungsinya juga tidak mungkin dapat disatukan atau disamakan satu dengan yang lainnya.