Agama adalah pemberian dari tuhan
sedangkan adat adalah peninggalan dari orang tua atau nenek moyang yang
keduanya harus dijaga dan diseimbangkan. Memang sebagian kalangan masih menilai
pelaksanaan ajaran Wetu Telu kental dan identik dengan pelaksanaan ibadah
sholat yang dilakukan 3 waktu dan puasa yang dikerjkan hanya pada awal, tengah
dan akhir bulan saja, namun yang pasti agama dan adat yang sudah tentu memiliki
kaitan erat dalam semua sendi kehidupan manusia memang tidak dapat dipisahkan,
terlebih dalam komunitas adat Bayan yang selama ini tidak pernah ada larangan
pada semua generasi dan penerus untuk menuntut ilmu dan menyempurnakannya,
asalkan adat – istiadat tidak dikesampingkan agar tetap ber imbang dan
seimbang.
Para Kiyai melakukan sholat di masjid kuno Bayan
Sumber lain yang berhasil ditemui
adalah Raden Jambianom, Penghulu Raden Adat Bayan, ia menjelaskan, “ Sebelum
menyandang status Kyai Adat maka tidak diperbolehkan mengikuti sembahyang
tarawih kyai adat dimasjid Kuno Bayan. Dalam pelaksanaan sembahyang tarawih
Kyai Adat ini ayat-ayat Al-Qur’an yang biasa dipaki harus dibacakan secara
berurutan, sedangkan filosofi pelaksanaan sembahyang tarawih kyai adat setelah
tiga hari sembahyang tarawih secara umum karena berpatokan pada tanggal dan posisi
bulan, dimana menurut filosofi ini diyakni sahnya sesuatu itu dikerjakan apa
bila dapat dilihat secara langsung oleh mata. Sedangkan pada tanggal 1 dan 2
posisi bulan belum dapat terlihat dan kemudian baru dapat terlihat pada tanggal
3. Pelaksanaan ritual adat juga selalu berpatokan pada hari ketiga setelah
ritual umum lainnya, karena masyarakat adat selalu berpegang teguh pada sistem
penaggalan.
Sedangkan Kyai Kagungan yang
melipuiti 4 unsur (Penghulu, Lebe, Ketib, dan Mudim) pada dasarnya memiliki tugas
pokok yang sama, yaitu sebagai imam, sedangkan tugas lainnya juga masih memilki
tahapan dan bagian sesuai dengan wilyah adat yang dimilki, hanya saja Penghulu
dapat berperan disemua wilayah adat, sedangkan Kyai Santri yang berjumlah 40
orang hanya bertugas sebagai makmum atau disebut juga sebagai pembantu yang
bertugas mengurus semua ritual adat atas perintah dan mandat dari Kyai
Kagungan. Yang boleh berperan sebagai Kyai Kagungan dan Kyai Santri ini harus
berdasarkan keturunan.
“Terkiat makna Watu Telu memang tidak terlepas dari
filosofi masyarakat adat Bayan yang selalu berpegang teguh pada tiga unsur atau
keyakinan, yakni hubungan Tuhan dengan Manusia yang melibatkan para Kyai,
Hubungan Manusia dengan Manusia yang melibatkan Pranta- pranata dan sesepuh
adat, dan yang terakhir adalah Hubungan Manusia dengan Lingkungan yang
diperankan oleh para Toaq Lokaq (para orang tua). Ketiga unsur ini memerlukan dan harus diseimbangkan,
karena bagaimana pun juga kalau salah satunya tidak nyambung atau seimbang maka
tidak mungkin dapat berjalan dengan baik.
Saat ini keberadaan komunitas adat beserta hak-hak
yang dimilkinya juga semakin kuat dengan UUD 45 yang sudah diamandemenkan dan
terutang dalam pasal 18 ayat b bahwa Negara mengakui hak ulayat dan ritual
masyarakat adat . Jadi posisi dan keberadaan komunitas adat dan kerarifan lokal
yang dimilkinya juga semakin kuat untuk mendapat perlindungan dan harus tetap
dilestarikan.etu Telu Bukan Agama
Kepercayaan dan pendapat yang
menyebar pada sebagian besar dikalangan luar meyakini bahwa Wetu Telu itu
adalah ajaran agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat atau komunitas
adat Bayan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara.
“Wetu Telu
juga menggambarkan filosofi tentang “ Wet Tau Telu (tiga bagian wilayah atau
sistim Pemerintahan-red) diantaranya, Adat, Agama dan Pemerintah, ketiga unsur
ini jika dilihat berdasarkan fungsinya tidak mungkin dapat terpisahkan dimana
tugas dan fungsinya juga tidak mungkin dapat disatukan atau disamakan satu
dengan yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar